Tahapan Mengajarkan Keimanan pada Anak
Pertanyaan yang pernah muncul soal teologi bukan sekedar di sisi konten teologi itu sendiri tapi juga di sisi pedagogis: bagaimana mengajarkan teologi, arguably ilmu paling rumit dalam peradaban keilmuan Islam, kepada anak-anak kita? Harus dimulai dari mana? Seperti apa tahapannya? Harus sampai sejauh mana? Tidak sedikit teolog Muslim yang berusaha menjawab pertanyaan di atas. Imam Sanusi, misalnya, menyusun sebuah kurikulum teologi yang berusaha membekali pembaca dengan prinsip-prinsip dan argumentasi teologis mulai dari level anak-anak yang masih pemula hingga level advanced. Di tulisan singkat ini, kita hendak menengok kurikulum serupa dari kacamata teolog Muslim lain, yaitu Abu Hamid Al-Ghazali sebagaimana diartikulasikan dalam karya beliau, Qawaid al-Aqaid.
Tahapan pertama mengenalkan teologi pada anak adalah dengan mengajarkan dan memaparkan pokok-pokok keimanan pada anak-anak, mencakup apa yang perlu diimani tentang Allah dan Rasul-Nya serta tentang hari akhir. Di tahap ini, anak-anak bisa didorong untuk menghafalkan butir-butir keimanan sembari memperdalam pemahaman terhadap apa yang ia hafal secara bertahap. Salah satu teks yang direkomendasikan Al-Ghazali adalah teks Aqidah ringkas di bagian pembuka Kitab Qawaid al-Aqaid yang beliau tulis. Tahapannya adalah menghafal, memahami, kemudian meyakini dengan kokoh. Tahapan ini bisa dicapai tanpa bergantung pada argumentasi rasional yang rumit.
Ketika kecerdasan anak semakin terbentuk, yang terbaik untuk memperkuat imannya adalah mencukupkan diri dengan argumentasi-argumentasi rasional langsung dari Al-Qur'an. Sebagaimana pernah kita singgung, Al-Qur'an sudah memuat argumen-argumen kunci yang rasional, sederhana, sekaligus mengena untuk membuktikan klaim-klaim keimanan. Selain itu, mempelajari hadits dan sirah Nabi, menyibukkan diri dengan ibadah, dan berkumpul dengan orang-orang shalih juga akan membantu memperkokoh keyakinan anak. Anak-anak tidak perlu di-expose dengan argumentasi mendetail yang terlalu teknikal sebagaimana dibahas dalam perdebatan-perdebatan teologis. Debat dan argumentasi di tahap ini tidaklah bermanfaat bagi anak, bahkan ini justru bisa mengganggu keyakinannya.
Ketika ideologi-ideologi menyimpang dan bid'ah aqidah bertebaran, sehingga bahkan anak-anak pun dikhawatirkan akan terpengaruh, barulah anak bisa di-expose ke level selanjutnya, yaitu mempelajari argumentasi-argumentasi dasar dari poin-poin keimanan yang sudah dihafalkannya. Di tahap ini lah anak belajar menggunakan akal untuk mempelajari argumentasi deduktif yang berujung pada pokok-pokok keimanan Islam. Di sini anak akan melihat bagaimana akal layaknya mata untuk melihat dan wahyu adalah cahaya penuntunnya. Al-Ghazali merekomendasikan teks lanjutan di tahapan ini, yaitu Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (Risalah Jerussalem) yang beliau lampirkan di bagian akhir dari Kitab Qawaid al-Aqaid. Teks aqidah ini memuat pokok-pokok keimanan Sunni beserta bukti-bukti rasional dan tekstual yang singkat, cocok untuk membentengi anak dari pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Aqidah Islam tanpa harus masuk ke pembahasan teologis yang terlalu panjang.
Ketika seseorang memang memiliki kecerdasan yang cukup dan terbersit pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang berpotensi mengganggu keimanannya, maka di sini lah ia memerlukan obat teologis untuk menyembuhkan penyakit pikirannya tersebut. Di tahap ini lah ia wajib mengkaji teologi Islam sampai ke level yang cukup untuk membebaskannya dari keragu-raguan. Di sini lah Al-Ghazali merekomendasikan karya teologisnya yang paling komprehensif, Al-Iqtishod fil I'tiqod (Moderasi dalam Keimanan) yang bukan sekedar memuat argumentasi rasional atas poin-poin keimanan tapi juga memuat pertanyaan-pertanyaan teologis yang bermunculan di era beliau dan respons yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Yang menarik, bagi Al-Ghazali, level mendasar yang mencakup menghafal poin-poin keimanan dan mencukupkan diri dengan bukti-bukti rasional langsung dari Al-Qur'an sebetulnya cukup untuk sebagian besar kalangan. Mempelajari teologi secara lebih dalam, dengan kadar sesuai yang dibutuhkan, baru dibutuhkan saat ada potensi gangguan pada keimanan. Poin ini dirangkum dengan indah melalui ilustrasi beliau bahwa teologi adalah obat yang hanya dibutuhkan mereka yang sakit dengan taraf tertentu untuk mencapai kesembuhan. Tentu saja perkembangan zaman boleh jadi mengharuskan kita bukan sekedar mengkonsumsi “obat teologis” saat sakit, tapi juga menggunakan “vaksin teologis” yang membentengi kita dari potensi pandemi pemikiran sebelum sempat mengganggu pikiran kita.
Semoga Allah menganugerahkan keimanan yang kokoh bagi kita dan anak-anak kita. Insyaallah, jika tidak ada halangan, beberapa teks Al-Ghazali di atas, seperti rangkuman Aqidah dasar dalam Qawaid al-Aqaid serta Ar-Risalah Al-Qudsiyyah, akan coba kita bahas di tulisan-tulisan selanjutnya di blog ini.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: