Refleksi dari Ayyuhal Walad Al-Ghazali
Sudahkah kita menjadi ayah bagi murid kita dan guru bagi anak kita?
Salah seorang murid suatu hari meminta nasihat kepada gurunya, Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Sang guru pun memberikan nasihat-nasihat kehidupan yang kemudian dibukukan menjadi "Ayyuhal Walad" atau "Wahai anakku".
Bagi saya yang seorang pengajar, pemilihan judul ini seperti menampar diri saya. Fakta bahwa Imam Al-Ghazali memanggil muridnya dengan sebutan "walad" (anak yang disayangi) menunjukkan kedekatan personal, afeksi, dan kepedulian yang jauh melebihi hubungan guru-murid saat ini. Di era di mana semua serba instan, relasi dosen-mahasiswa seringkali tak lebih dari hubungan transaksional antara seseorang yang berkewajiban mengajar dengan sekelompok orang yang berkewajiban hadir. Sudahkah kita para pengajar memperlakukan murid-murid kita layaknya anak sendiri?
Di sisi lain, saya yang juga seorang ayah merasa tertampar untuk kedua kalinya. Meski ditujukan untuk muridnya, nasihat-nasihat Al-Ghazali di karyanya ini juga sangat relevan untuk anak-anak kita, seolah-olah beliau berpesan bahwa orang tua juga adalah guru bagi anak-anaknya. Sudahkah kita sebagai orang tua menyiapkan curriculum of life (meminjam istilah mas @ainunnajib.id) bagi anak-anak kita?
Semoga Gusti Allah senantiasa memberi kita kekuatan untuk menjadi ayah dan guru yang baik bagi anak dan murid-murid kita.