Ketika kita bicara tentang akal dan keimanan, kita telah banyak membahas bagaimana Al-Qur’an meminta kita berfikir untuk sampai pada kesimpulan yang tepat terkait keimanan. Bukan hanya untuk sampai pada kesimpulan untuk diri kita sendiri, metodologi yang tepat dalam berfikir juga bisa kita gunakan untuk mengajak orang lain sampai pada kesimpulan yang sama. Pertanyaannya, seperti apa ragam cara argumentasi yang benar? Adakah jenis argumentasi yang tidak valid atau lemah?
Dalam karyanya Ishaguji fil Manthiq, Imam Atsiruddin al-Abhari membagi ragam argumentasi ke dalam 5 jenis, yaitu burhan (demonstrasi), jadal (dialektika), khathabah (retorika), syi’ir (poetika), dan mughalathah (sofisme). Syaikhul Islam Zakariya al-Anshori di karyanya, Al-Matla’ menjelaskan kelima jenis metode argumentasi di atas sebagai berikut:
Burhan (demonstrasi) adalah silogisme yang tersusun atas premis-premis benar dan bersifat pasti sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat benar dan pasti juga. Artinya, kesimpulan yang dihasilkan, selain sesuai dengan realita, juga dibersamai keyakinan valid akan kemustahilan kontradiksi dari kesimpulan tersebut dan kemustahilan perubahannya. Di sini lah peran sumber-sumber pengetahuan meyakinkan yang pernah kita singgung sebelumnya, seperti pengetahuan aksiomatis, observasi, pengetahuan empiris, testimoni massal, dan lain-lain. Sebagai contoh, kebenaran dari premis “dunia bersifat mungkin” dan “segala yang mungkin butuh sebab” akan membawa kita pada kesimpulan meyakinkan bahwa “dunia butuh sebab”.
Jadal (dialektika) adalah silogisme yang premis penyusunnya diterima banyak orang atau diterima oleh lawan debat kita. Tujuannya bukan semata-mata untuk mendapat pengetahuan meyakinkan, tetapi untuk menggiring lawan debat menerima kesimpulan yang kita inginkan atau untuk mempersuasi khalayak umum untuk menerima kesimpulan yang kita inginkan, terutama mereka yang tidak cukup mampu mencerna argumentasi demonstratif atau burhan. Misalnya, ada seorang saintis yang meyakini suatu Premis A = “segala sesuatu yang tak bisa dibuktikan sains tidak bisa dipercaya”. Ia bisa kita giring pada kontradiksi dengan menunjukkan bahwa “Premis A tidak bisa dibuktikan sains” sehingga sampai pada kesimpulan “Premis A tidak bisa dipercaya”.
Khathabah (retorika) adalah silogisme yang menggunakan statement dari orang terpercaya dan terkenal di mata audiens atau bisa juga yang tersusun atas premis yang bisa jadi benar meskipun tidak sampai pada level meyakinkan. Contoh kasus pertama adalah mengutip orang-orang shaleh dalam khutbah. Contoh kasus kedua adalah premis “Fulan keluyuran di malam hari” dan “Semua yang keluyuran di malam hari adalah pencuri”. Meskipun tidak menghasilkan keyakinan 100%, premis ini bisa digunakan untuk menggiring audiens menuju sesuatu yang bermanfaat atau menjauhi sesuatu yang merugikan mereka.
Syi’ir (poetika) adalah silogisme yang premisnya menggunakan kata-kata yang menyentuh emosi pendengar. Contohnya adalah statement “Agama adalah candu”. Tujuannya adalah untuk memantik pendengar untuk menjauhi atau mendekati sesuatu.
Mughalathah (sofisme) adalah silogisme yang menggunakan premis yang tidak benar tetapi menyerupai premis yang benar atau bisa juga premisnya benar tapi bentuk argumennya tidak menghasilkan kesimpulan valid. Sebagai contoh, sebagian kalangan menganggap Tuhan tidak menghendaki perbuatan buruk manusia karena kontradiksi dengan perintah Tuhan untuk taat. Argumen ini adalah contoh falasi karena menyamakan kehendak Tuhan dengan keridhoan-Nya.
Lalu, mana ragam argumentasi yang valid digunakan? Al-Abhari menutup Ishaguji dengan pernyataan berikut:
العمدة وهو البرهان لا غير
“Yang valid digunakan adalah Burhan, bukan yang lain.”
Pandangan ini tentu saja masuk akal, karena Burhan tersusun atas premis-premis meyakinkan sehingga menghasilkan kesimpulan yang juga meyakinkan. Semua argumentasi teologi Islam untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya serta validitas kenabian menggunakan jenis argumentasi ini. Tetapi, apakah lantas kita tidak boleh menggunakan ragam argumentasi yang lain?
Imam Fakhruddin Ar-Razi punya pandangan menarik soal ini dalam karyanya Mafatih al-Ghayb saat menjelaskan tafsir Surat An-Nahl ayat 125 berikut:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِیلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُۚ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Menurut Ar-Razi, ayat ini mengindikasikan tiga metode argumentasi yang semuanya valid digunakan:
Hujjah qath‘i (pasti) yang melahirkan kepercayaan yang meyakinkan. Inilah yang disebut hikmah di ayat di atas. Ini tak lain adalah burhan menurut kategorisasi Al-Abhari. Ini adalah tingkatan tertinggi dan termulia.
Premis-premis yang bersifat mungkin dan bukti yang bersifat persuasif. Inilah yang dimaksud dengan mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik) di ayat di atas. Ini tak lain adalah khathabah menurut kategorisasi Al-Abhari.
Dalil yang dimaksudkan untuk membungkam lawan. Inilah yang disebut jadal (perdebatan) di ayat di atas, selaras dengan kategorisasi Al-Abhari.
Artinya, menurut Ar-Razi, Al-Qur'an mendorong kita menggunakan argumentasi burhan (demonstratif), khathabah (poetik), dan jadal (dialektik) dalam mengajak orang lain untuk sampai pada kesimpulan yang benar. Pertanyaannya: kapan ragam metode yang berbeda ini digunakan? Menurut Ar-Razi, ini bergantung pada audiens-nya. Ada kalangan terpelajar yang memang mencari pengetahuan hakiki dan ilmu yang meyakinkan. Maka, mengajak kalangan ini paling efektif menggunakan burhan atau hikmah. Golongan kedua adalah orang-orang yang tabiatnya lebih condong pada pertengkaran dan permusuhan, bukan pada pencarian kebenaran. Metode yang cocok bagi mereka adalah jadal atau debat yang membungkam. Yang terakhir adalah golongan pertengahan, mereka yang masih di atas fitrah asli, murni secara tabiat, tetapi belum sampai pada kesiapan untuk memahami argumentasi rumit ala burhan. Metode yang paling tepat untuk kalangan ini adalah mau‘izhah hasanah atau khathabah.
Wallahu a'lam.
Teks Mafatih al-Ghayb:
فَظَهَرَ بِهَذا التَّقْسِيمِ انْحِصارُ الحُجَجِ في هَذِهِ الأقْسامِ الثَّلاثَةِ:
أوَّلُها: الحُجَّةُ القَطْعِيَّةُ المُفِيدَةُ لِلْعَقائِدِ اليَقِينِيَّةِ، وذَلِكَ هو المُسَمّى بِالحِكْمَةِ، وهَذِهِ أشْرَفُ الدَّرَجاتِ وأعْلى المَقاماتِ، وهي الَّتِي قالَ اللَّهُ في صِفَتِها: ﴿ومَن يُؤْتَ الحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا﴾ [البَقَرَةِ: ٢٦٩] .
وثانِيها: الأماراتُ الظَّنِّيَّةُ والدَّلائِلُ الإقْناعِيَّةُ وهي المَوْعِظَةُ الحَسَنَةُ.
وثالِثُها: الدَّلائِلُ الَّتِي يَكُونُ المَقْصُودُ مِن ذِكْرِها إلْزامَ الخُصُومِ وإفْحامَهم، وذَلِكَ هو الجَدَلُ
فَنَقُولُ: أهْلُ العِلْمِ ثَلاثُ طَوائِفَ: الكامِلُونَ الطّالِبُونَ لِلْمَعارِفِ الحَقِيقِيَّةِ والعُلُومِ اليَقِينِيَّةِ، والمُكالَمَةُ مَعَ هَؤُلاءِ لا تُمْكِنُ إلّا بِالدَّلائِلِ القَطْعِيَّةِ اليَقِينِيَّةِ وهي الحِكْمَةُ.
والقِسْمُ الثّانِي: الَّذِينَ تَغْلِبُ عَلى طِباعِهِمُ المُشاغَبَةُ والمُخاصَمَةُ، لا طَلَبُ المَعْرِفَةِ الحَقِيقِيَّةِ والعُلُومِ اليَقِينِيَّةِ، والمُكالَمَةُ اللّائِقَةُ بِهَؤُلاءِ المُجادَلَةُ الَّتِي تُفِيدُ الإفْحامَ والإلْزامَ.
وهَذانِ القِسْمانِ هُما الطَّرَفانِ؛ فالأوَّلُ هو طَرَفُ الكَمالِ، والثّانِي طَرَفُ النُّقْصانِ.
وأمّا القِسْمُ الثّالِثُ: فَهو الواسِطَةُ، وهُمُ الَّذِينَ ما بَلَغُوا في الكَمالِ إلى حَدِّ الحُكَماءِ المُحَقِّقِينَ، وفي النُّقْصانِ والرَّذالَةِ إلى حَدِّ المُشاغِبِينَ المُخاصِمِينَ، بَلْ هم أقْوامٌ بَقُوا عَلى الفِطْرَةِ الأصْلِيَّةِ والسَّلامَةِ الخِلْقِيَّةِ، وما بَلَغُوا إلى دَرَجَةِ الِاسْتِعْدادِ لِفَهْمِ الدَّلائِلِ اليَقِينِيَّةِ والمَعارِفِ الحُكْمِيَّةِ، والمُكالَمَةُ مَعَ هَؤُلاءِ لا تُمْكِنُ إلّا بِالمَوْعِظَةِ الحَسَنَةِ، وأدْناها المُجادَلَةُ.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda:

