Pentingnya Menemukan Tuhan dan Beragama
Salah satu pertanyaan yang pernah mengemuka soal diskusi tentang keberadaan Tuhan adalah soal apa pentingnya membuktikan keberadaan Tuhan. Pentingkah mencari Tuhan mana yang benar? Tidakkah cukup kita menjalani hidup saja sebaik-baiknya? Tidakkah cukup kita menjadi orang baik saja asalkan tidak mengganggu orang lain? Bukankah bisa kita tetap hidup dengan baik tanpa tuntunan agama?
Sebelum kita menjawab soal pentingnya menemukan Tuhan, saya ingin membawakan ilustrasi dari Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthy yang pernah saya singgung di tulisan lain bahwa kehidupan manusia itu seperti orang menaiki kereta yang sedang melaju. Ketika terbangun di sebuah kereta yang melaju, seorang yang rasional pasti akan langsung bertanya: siapa kita, dari mana kita berasal, ke mana kita menuju, dan apa yang harus kita lakukan selama perjalanan. Ini lah pertanyaan eksistensial manusia, pertanyaan terbesar yang akan menentukan bagaimana kita menjalani perjalanan hidup. Lalu, bagaimana menjawab pertanyaan eksistensial ini?
Sains, sebagai salah satu sumber pengetahuan, bisa membantu menjawab sebagian aspeknya, seperti awal-mula munculnya keragaman spesies ataupun alam semesta. Tapi, sains tidak bisa menjawab persoalan inti dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Sains tidak bisa menjawab apa yang akan terjadi pada diri kita, bukan semata-mata tubuh jasmani kita saja, setelah kita mati. Sains tidak bisa menjawab apa yang harus kita lakukan selama kita hidup. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab jika kita bisa terlebih dahulu menjawab apakah kita memiliki Pencipta. Dan jika iya, siapa Pencipta-nya dan apa yang Ia ingin kita lakukan selama hidup di dunia. Ini lah urgensi utama dari menemukan keberadaan Tuhan: sebagai pintu gerbang menjawab pertanyaan eksistensial kita.
Tetapi, tidakah menjadi baik dalam hidup saja cukup tanpa harus bergantung pada aturan Tuhan? Jawabannya: menjalani hidup tanpa mengetahui tujuan penciptaan kita pada akhirnya akan terjebak pada relativisme tentang bagaimana menjalani hidup itu sendiri. Misalnya, kalau menjadi baik dianggap cukup dalam hidup, apa definisi kebaikan? Mengapa kebaikan menjadi standar yang harus digunakan? Mengapa bukan survival of the fittest, misalnya, yang lebih fokus pada survival ras manusia? Artinya, masing-masing orang bisa punya standar yang berbeda-beda tentang bagaimana menjalani hidup tanpa basis justifikasi yang jelas. Itu mengapa para teolog Muslim menjelaskan bahwa perbuatan manusia tidak punya nilai moral inheren. Baik-buruk sesuatu harus kembali kepada standar yang ditentukan oleh Pencipta dan Pemilik kita semua yang bebas menentukan apa yang harus kita perbuat.
Selanjutnya, setelah tahu Tuhan mana yang menciptakan kita, kita harus mengetahui apa yang diinginkan Tuhan pada kita. Di situ lah peran Utusan Tuhan dan ajaran agama yang dibawanya, yang tidak lain adalah pesan langsung dari Tuhan pada kita semua. Karena itu, sebagaimana dinukil Imam Sirajuddin Al-Ghaznawi dalam Syarh Aqidah Thahawiyah, para ulama’ mendefinisikan agama sebagai berikut:
وضع الهي سائق لذوي العقول إلى الخير
"Aturan ilahi yang mengarahkan orang-orang yang berakal kepada kebaikan."
Artinya, fungsi dari agama tidak lain adalah menunjukkan bagaimana menjalani hidup sebagai orang rasional menuju kebaikan yang hakiki di dunia dan akhirat. Maka, ketika bukti rasional telah membawa kita kepada Tuhan dan Utusan-Nya yang sesungguhnya, yang membawa agama sebagai panduan moral hidup di dunia, langkah selanjutnya tergantung kepada kita apakah akan mengikuti kesimpulan rasional kita menuju penyerahan diri sepenuhnya pada ketentuan Tuhan tentang bagaimana menjalani hidup di dunia atau tidak. Pilihan ada di tangan kita. Maka, mari memilih dengan rasional.
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: