Matematika, Sains, dan Al-Ghazali
Bagaimana agama memandang matematika dan sains menurut Al-Ghazali
Beberapa tahun silam, seorang saintis di sebuah videonya menyebutkan bahwa kemunduran sains di dunia Islam dipelopori oleh Abu Hamid Al-Ghazali yang menyebut matematika sebagai “ilmu setan” sedemikian rupa sehingga umat Islam setelah beliau tidak lagi menggeluti matematika dan sains. Tulisan ini tidak hendak masuk ke aspek historis mengenai betulkah ilmu pengetahuan mengalami kemunduran pasca Al-Ghazali. Pembaca yang tertarik bisa membaca detail soal ini di buku George Saliba ataupun Frank Griffel atau menengok singkat tulisan saya tentang tradisi keilmuan Islam di Era Turki Utsmani. Tulisan ini hendak fokus kepada karya-karya Al-Ghazali sendiri dan melihat sekilas bagaimana pandangan beliau tentang matematika dan sains.
Dalam autobiografinya yang tersohor, al-munqidz min adh-dhalal, Al-Ghazali membahas beragam kelompok pemikiran yang beliau temui dalam hidup, salah satunya adalah filsafat. Di antara cabang ilmu dalam filsafat di era beliau adalah matematika (riyadhiyat) dan sains alam (thabi’iyat). Saat membahas matematika, Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu matematika tidak berkaitan langsung dengan perkara agama. Artinya, matematika in itself adalah sesuatu yang netral berlandaskan hukum-hukum yang pasti dan karenanya tak bisa ditolak oleh agama.
Meski begitu, Al-Ghazali menulis adanya resiko yang bisa ditimbulkan dari ilmu ini di era beliau. Bahaya pertama yang beliau sebutkan adalah kemungkinan gagalnya membedakan matematika dengan metafisika yang memuat klaim-klaim terkait ketuhanan. Mereka yang mempelajari matematika dan terpukau pada level kepastian dari bukti-buktinya bisa jadi langsung menerima pandangan metafisis para filsuf yang notabene adalah matematikawan di era itu. Pandangan metafisis para filsuf ini lah yang banyak dikritik Al-Ghazali karena inkonsisten dan bertentangan dengan pokok-pokok keimanan. Problem ini pun bisa terjadi di era modern ketika kita gagal membedakan teori sains dan pandangan filosofis seorang saintis. Problem yang lain berada di ekstrem yang berseberangan: penolakan sebagian kalangan terhadap pandangan metafisis para filsuf membuat mereka ikut menolak matematika. Akibatnya, orang-orang yang teryakinkan oleh matematika justru kemudian menolak agama karena keliru menganggap iman pada agama mengharuskan penolakan terhadap matematika.
Apa benang merah penyebab dua masalah di atas? Jawabannya: di era Al-Ghazali, matematika adalah bagian tak terpisahkan dari filsafat Yunani sehingga seolah-olah tidak ada beda di antara keduanya. Ini pentingnya demarkasi antara metafisika dan cabang ilmu lain seperti matematika dan sains. Kita bisa menerima matematika dan sains sekaligus mengkritik pandangan filosofis dari para praktisinya. Poin-poin ini lah yang juga ditekankan oleh Al-Ghazali di pembuka karya beliau yang tersohor, Tahafut al-Falasifah. Artinya, bagi Al-Ghazali problemnya memang bukan di matematika sendiri, tetapi di metafisikanya.
Bagaimana dengan sains? Masih di karya yang sama, Al-Ghazali menulis bahwa sains yang berusaha mempelajari alam tak berbeda dengan ilmu kedokteran yang berusaha mempelajari tubuh manusia. Sebagaimana kedokteran yang juga tak berkaitan dengan agama, sains pun juga begitu sehingga tidak perlu ditolak kecuali hal-hal tertentu yang beliau kritik dalam Tahafut al-Falasifah. Yang terpenting menurut beliau adalah adanya keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi atas Kehendak Tuhan dan bahwa Tuhan lah penyebab yang sesungguhnya, bukan fenomena alam itu sendiri. Lagi-lagi, poin yang beliau tekankan di sini bukanlah sains itu sendiri, tetapi asumsi metafisis di balik sains.
Lebih dari itu, dalam karya beliau yang lain, Kitab al-Ilm yang membuka serial legendaris Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali bahkan menyebutkan bahwa menguasai ilmu kedokteran dan matematika justru adalah fardhu kifayah atau kewajiban komunal. Alasannya karena sebuah komunitas akan sangat sulit hidup di dunia ini tanpa dua ilmu tersebut sehingga akan berkonsekuensi pada sulitnya menjalankan perintah-perintah pokok agama. Artinya, harus ada minimal satu orang di setiap komunitas yang menguasai kedua ilmu ini. Dengan argumen yang sama, pandangan beliau ini tentu saja bisa diekstrapolasi pada ilmu-ilmu lain, termasuk sains dan teknologi.
Kesimpulannya, pandangan yang menganggap Al-Ghazali anti-matematika atau anti-sains tidak bisa dibuktikan dari karya-karya Al-Ghazali sendiri. Sebaliknya, sang Imam justru menganggap keduanya kewajiban komunal meskipun tidak berkaitan langsung dengan perkara agama.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda:
👍👍