Kuda Terbang dan Rasionalitas - Bagian 2
Sesuatu yang mungkin secara rasional dan dikonfirmasi oleh testimoni yang valid harus diterima
Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang ingin menjawab pertanyaan betulkah percaya pada fenomena Isra’ Mi’raj adalah posisi irasional dan betulkah kepercayaan ini meruntuhkan kredibilitas seseorang sebagai seorang ilmuwan? Pertanyaan kedua telah kita kupas di tulisan bagian pertama di mana kita melihat bahwa pandangan metafisis seseorang tidak berpengaruh terhadap kredibilitasnya di bidang lain. Sekarang kita akan beralih ke pertanyaan utama: betulkah percaya pada mu’jizat adalah posisi yang irasional sehingga tidak layak dipegang?
Di era modern ini, kepercayaan pada entitas seperti Buroq, yang disebut sebagai “kuda terbang” oleh si saintis dalam perdebatannya dengan jurnalis Muslim yang kita singgung di tulisan sebelumnya, dianggap absurd. Argumennya sederhana: jika kuda terbang betul-betul ada, mestinya banyak dari kita pernah melihatnya. Fakta bahwa tidak ada seorang pun di era modern yang pernah melihatnya berimplikasi pada irasionalitas orang yang mempercayai keberadaannya. Ini juga berlaku untuk klaim-klaim mu’jizat yang lain. Lebih jauh lagi, kalau kepercayaan pada hal semacam ini dianggap rasional, ini berimplikasi pada rasionalnya kepercayaan pada hal-hal lain, seperti keberadaan peri dan kurcaci misalnya. Anybody can then claim whatever they want.
Respon terhadap keberatan pertama: hanya karena sesuatu tidak pernah kita observasi keberadaannya tidak berimplikasi pada kemustahilan keberadaannya secara rasional. Keberadaan pesawat terbang, misalnya, yang tak pernah dilihat oleh orang-orang di era pra-modern, tidak lantas membuat keberadaan pesawat menjadi mustahil. Kemustahilan sesuatu secara rasional hanya terjadi ketika keberadaannya jatuh kepada absurditas atau melanggar salah satu hukum logika. Contoh: keberadaan lingkaran yang sekaligus persegi adalah mustahil secara rasional karena melanggar hukum identitas. Kalau kita memahami definisi dari persegi sekaligus definisi dari lingkaran, akal tidak bisa menerima keberadaan suatu objek yang bisa diidentifikasi sebagai keduanya sekaligus. Maka, di sini kita bisa mengatakan bahwa mempercayai keberadaan persegi-lingkaran adalah irasional, bukan karena kita tak pernah melihatnya tapi karena keberadaannya memaksa kita jatuh kepada kontradiksi.
Bagaimana dengan keberadaan “kuda terbang” misalnya? Keberadaan kuda yang bisa terbang tidaklah membawa kita kepada absurditas atau kontradiksi logis. Keberadaannya tidak melanggar hukum logika apa pun. Artinya, “kuda terbang” adalah sesuatu yang mungkin secara rasional bahkan jika kita tak pernah melihat keberadaannya. Ini juga berlaku untuk objek-objek lain, seperti alien, tuyul, malaikat, jin. Ini juga berlaku untuk fenomena mu’jizat, yaitu sesuatu di luar kebiasaan yang terjadi tanpa bisa direplikasi.
Tapi, bukankah fakta bahwa tak ada yang pernah melihat “kuda terbang” membuat keberadaannya menjadi improbable? Betul sekali. Tidak banyaknya saksi mata yang melihat “kuda terbang” ataupun fenomena mu’jizat memang membuat keberadaannya menjadi improbable. Tetapi, prinsip yang sangat penting: improbability tidak sama dengan impossibility, kecilnya peluang suatu kejadian tidak sama dengan ketidakmungkinan terjadinya kejadian tersebut. Kemustahilan berkaitan dengan apakah sesuatu melanggar hukum logika sedangkan improbabilitas berkaitan dengan apakah sesuatu jarang terjadi. Mawlana Ashraf Ali Thahanawi, ulama’ kontemporer asal India, sampai memasukkan poin ini ke dalam 7 prinsip penting dalam karya beliau Al-Intibahat al-mufidah fi halli al-isytibahat al-jadidah.
Tapi, bukankah mempercayai keberadaan “kuda terbang” berimplikasi pada bolehnya percaya pada keberadaan peri, kurcaci, dan lain-lain? Poin penting untuk merespon pertanyaan ini: sesuatu yang keberadaannya mungkin secara rasional bukan berarti pasti ada pada kenyataan. Saat kita berkata bahwa “kuda terbang” itu mungkin secara rasional tidak lantas membuat kita mengafirmasi keberadannya. Di sini lah perlu bukti-bukti lain untuk mengafirmasi ataupun menolak secara pasti tentang keberadaannya. Jika memang tak ada bukti yang mendukung keberadaan peri dan kurcaci, misalnya, maka tentu saja kita tak perlu mengafirmasi keberadannya.
Lalu, apa bukti keberadaan “kuda terbang” sehingga Muslim percaya? Dengan mengesampingkan penyebutan Buraq sebagai “kuda terbang” yang tidaklah akurat, di sinilah kita akan membahas premis yang menjadi prinsip terpenting dalam tulisan ini: sesuatu yang mungkin secara rasional dan keberadaannya dikonfirmasi oleh testimoni yang valid harus diterima. Prinsip ini sangat vital dalam memahami mengapa Muslim percaya pada keberadaan mu’jizat, malaikat, jin, dan hal-hal ghaib lain yang tak bisa langsung diindera. Sedemikian pentingnya prinsip ini, Imam Al-Ghazali punya bab khusus membahas ini dalam karya beliau Al-Iqtishod fil I’tiqod, sebagaimana Mawlana Ashraf Ali pun menjadikan prinsip ini 1 di antara 7 prinsip terpenting. Seperti apa contoh aplikasi prinsip tersebut?
Contoh sederhananya: sejarah peristiwa di masa lalu yang tak bisa kita indra secara langsung. Keberadaan Adolf Hitler, misalnya, barangkali tak pernah diindera langsung oleh seluruh orang yang hidup saat ini. Tapi, keberadaannya adalah sesuatu yang mungkin sekaligus dikonfirmasi oleh banyak sekali testimoni yang terdokumentasikan dari para pelaku sejarah yang bertemu langsung dengannya. Maka, keberadaannya harus diterima oleh kita. Keberadaan “kuda terbang” pun juga sesuatu yang rasional. Maka, ketika ada testimoni valid yang mengkonfirmasi keberadaannya, ia harus diterima secara rasional.
Tapi, bukankah tidak ada testimoni dari para pelaku sejarah yang menyaksikan langsung keberadaan Buraq selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri? Betul, tapi testimoni massal bukanlah satu-satunya bentuk testimoni yang valid. Salah satu bentuk testimoni yang valid adalah wahyu Tuhan ketika sumbernya sudah terkonfirmasi berasal dari Tuhan. Tapi, bagaimana mengkonfirmasi bahwa suatu pesan betul-betul berasal dari Tuhan? Pertama, tentu saja perlu dibuktikan secara rasional bahwa Tuhan itu ada, klaim yang sudah banyak saya jelaskan di blog ini. Kedua, perlu bukti secara rasional bahwa seseorang betul-betul utusan Tuhan. Itulah yang terjadi ketika muncul mu’jizat di tangan seorang utusan Tuhan. Munculnya mu’jizat berupa kejadian di luar kebiasaan yang tak bisa direplikasi di tangan seorang yang mengaku Utusan Tuhan adalah bentuk konfirmasi Tuhan bahwa orang tersebut betul-betul Utusan Tuhan. Itulah yang terjadi pada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam yang masyhur datang bersama banyak sekali mu’jizat. Once it is confirmed that he is Messenger of God, every testimony that comes from him actually comes from God.
Saat itu lah kita bisa melihat rasionalitas di balik penerimaan kita tentang segala sesuatu yang dikabarkan wahyu atau hadits Nabi: keberadaan malaikat, jin, peristiwa Isra’ Mi’raj, termasuk keberadaan Buraq. Semua ini adalah sesuatu yang mungkin secara rasional. Maka, ketika wahyu Tuhan yang telah terkonfirmasi betul-betul berasal dari Tuhan mengkonfirmasi keberadaan mereka, akal harus menerima informasi ini bahkan jika kita tidak pernah langsung melihat atau merasakan keberadaannya.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.