Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan #1: Pengantar
Banyak tulisan-tulisan di blog ini maupun di Buku “Logika Keimanan” yang membahas bagaimana persinggungan antara teologi Islam dan sains modern. Tapi, mayoritas tulisan baru membahas perdebatan di tataran filosofis saja seperti bukti rasional keberadaan Tuhan dan validitas kenabian, mungkinnya fenomena mu'jizat, serta bagaimana menempatkan hukum alam dalam kerangka Kehendak Tuhan. Salah satu persinggungan antara agama dan sains yang membuat banyak pihak kebingungan bukan sekedar berada di tataran filosofis saja. Banyak kebingungan justru muncul ketika teks wahyu sekilas terlihat bertentangan dengan produk pengetahuan rasional, khususnya sains modern. Misalnya, tidak sedikit tokoh agama yang menganggap bahwa teks Al-Qur'an dengan gamblang menyebutkan bahwa bumi itu datar atau matahari dan planet-planet lah yang mengelilingi bumi.
Saya pribadi melihat ada beragam jenis respons yang muncul saat kondisi seperti di atas terjadi. Di antaranya, ada beberapa respon ekstrim yang saya temukan. Sebagian kalangan langsung menolak pengetahuan rasional atau saintifik dan menerima langsung makna literal atau dzahir dari teks wahyu. Akal manusia dianggap terbatas; sains dianggap tak pasti; wahyu pasti benar karena berasal dari Tuhan. Konsekuensinya, akal harus mengikuti wahyu. Usaha-usaha untuk menganalisa kemungkinan makna lain dari teks wahyu dianggap lemah iman atau bahkan ketidakpercayaan terhadap pesan Tuhan. Ada yang kemudian kehilangan kepercayaan pada sains karena dianggap teori produk orang kafir. Tidak sedikit yang bahkan mengeluarkan vonis takfir.
Di kubu ekstrim yang lain, ada yang menerima kesimpulan-kesimpulan saintifik dan menganggap teks wahyu hanyalah berisi mitos-mitos atau kisah-kisah yang tidak mengacu kepada kejadian nyata. Ada juga yang bahkan menolak validitas wahyu sama sekali, khususnya ketika berbicara tentang topik-topik yang menjadi domain sains. Kitab suci dianggap hanya perlu membahas ibadah dan spiritualisme saja. Sisanya harus ditafsirkan sedemikian rupa untuk selalu mengikuti akal. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap fenomena-fenomena seperti mu’jizat atau hari kebangkitan sebagai metafora belaka.
Tentu saja tidak semua respons masuk ke dalam kedua kubu ekstrim di atas. Ada banyak spektrum pandangan di antara kedua pandangan ekstrem tersebut. Pertanyaannya: Bagaimana memposisikan akal dan wahyu ketika ini terjadi? Apakah ada guideline kunci yang bisa digunakan secara konsisten, sistematis, dan tidak sporadis? Apakah langsung menolak produk akal dan mengunggulkan makna dzahir teks wahyu menandakan iman yang kuat? Apakah mengunggulkan produk akal menandakan iman yang lemah?
Serial tulisan ini akan mencoba mengupas pertanyaan-pertanyaan di atas. Kita akan melihat bagaimana para teolog Muslim menavigasi tantangan semacam ini di masa lalu dan seperti apa relevansinya di era modern ini. Beberapa poin yang akan kita singgung adalah:
Bagaimana akal, termasuk sains, dan wahyu sama-sama sumber pengetahuan yang valid. Karena itu, tidak mungkin ada pertentangan hakiki antara keduanya.
Adanya ragam level keyakinan dari sumber-sumber pengetahuan kita, bahkan termasuk produk sains dan wahyu sekalipun. Tidak semuanya memiliki level epistemis yang setara: ada yang sampai pada level keyakinan paling tinggi tapi ada juga yang hanya berupa dugaan.
Apa prinsip-prinsip penting dalam menggunakan akal dan memahami wahyu, bagaimana akal bisa mengidentifikasi peristiwa-peristiwa mana yang harus terjadi, mustahil terjadi, dan mungkin terjadi, bagaimana metodologi penafsiran teks wahyu yang valid dan konsisten, serta kapan kita boleh memalingkan makna literal yang terkandung pada teks.
Seperti apa kaidah utama yang digunakan ketika produk akal dan teks wahyu terlihat bertentangan dan apa opsi-opsi jalan keluar yang valid.
Bagaimana menerapkan kaidah-kaidah di atas pada contoh kasus real yang muncul, yaitu ayat-ayat yang berisi fenomena mu'jizat dan ayat-ayat yang dianggap berisi klaim bahwa bumi datar.
Tentu saja pada prakteknya, kasus-kasus yang muncul bisa jadi tetap memerlukan analisa khusus yang bersifat kasuistis. Tapi, menurut saya, memahami seperti apa kerangka berfikir yang tepat dan konsisten sebagaimana telah disusun para teolog Muslim tetap lah penting agar kita tidak terjebak kepada dua kubu ekstrim seperti di atas.
Wallahu a'lam.